Perjalanan Covidku

elvira natliya
4 min readJun 14, 2021

Tgl 28 Mei lalu, saya di diagnosis covid-19. Jantung saya seperti copot membaca hasil test PCR yang saya terima di jum’at pagi itu. Untungnya saya cepat tanggap berinisiatif untuk melakukan tes PCR paling mahal tetapi paling akurat tersebut.

Semua bertanya: “Kena dimana?” Terus terang saya tidak tahu. Saya cukup ketat melakukan prokes, selalu mengenakan masker medis double, menjaga jarak dan mencuci tangan. Hal yang saya merasa kecolongan adalah ketika libur lebaran, mobilitas saya sangat tinggi, dikarenakan si sulung yang berkeinginan mencoba kafe-kafe gaul di Jakarta.

Saya membuat tulisan ini agar menjadi pelajaran bagi kita semua. Agar kita dapat mengatasi pandemi ini dengan siasat yang baik dan bermanfaat sehingga semua dapat selamat.

Senin 24 Mei 2021,

Minggu itu dimulai seperti minggu lainnya. Seminggu penuh dengan jadwal kelas zoom dan bimbingan belajar. Saya ingat pada hari Senin, saya merasa baik-baik saja. Saya memulai minggu saya dengan berolahraga. TRX adalah latihan yg saya pilih. Saya merasa sehat dan kuat.

Sekali-sekali, saya sulit tidur. Kadang-kadang, saya minum satu tablet obat tidur herbal. Jadi, setelah merasa bugar sepanjang hari, sayangnya saya mengalami kesulitan tidur malam itu. Akhirnya saya memutuskan untuk meminum obat tidur.

Selasa, 25 Mei 2021

Di pagi hari, saya bangun dengan perasaan sangat lelah. Aku merasakan gatal di tenggorokan. Tapi seperti biasa, saya pikir itu hanya pilek biasa. Selain gatal, saya merasa lidah saya pahit. Sepanjang hari, saya sedikit batuk. Lagi-lagi saya mengabaikannya. Saya masih bertemu teman saya pada hari Selasa itu dan melanjutkan mengajar untuk 2 kelas.

Rabu, 26 Mei 2021

Saya masih merasa lelah, namun tidak merasa demam, lidah saya pahit dan sedikit batuk. Tapi semuanya masih berjalan seperti biasa. Saya masih duduk bersama dengan orang tua saya saat makan. Pada malam hari, saya mengadakan rapat zoom dengan orang-orang dari kantor. Saya mengeluh tenggorokan saya terasa gatal dan pahit, dan Christina, salah satu teman saya, berkata, “Kayak covid Vir, sebaiknya kamu tes.”

Kamis, 27 Mei 2021

Sejujurnya, aku sudah berfirasat aneh. Saya didiagnosa dengan kemungkinan memiliki autoimun 4 tahun yang lalu. Penyakitnya adalah ruam kulit, kelelahan dan pendarahan ketika BAB. Kolitis, itulah nama penyakit 1000 wajah saya, salah satu jenis penyakit autoimun. Autoimun adalah suatu kondisi ketika antibodi menjadi terlalu aktif dan mulai menyerang tubuh seseorang. Pada setiap orang, gejalanya bisa berbeda. Ini, tentu saja, adalah penjelasan yang terlalu disederhanakan. Tapi, tulisan saya ini bukan jurnal medis.

Saya mengalami ruam kulit yang sudah agak bermasalah selama 3 minggu. Saya pikir ini kondisi auto immune saya, reaksi dermatitis kontak alergi terhadap sesuatu. Karena hanya berpikir seperti itu, saya memutuskan untuk pergi ke dokter kulit pada hari Kamis. Setelah dari dokter kulit, saya beristirahat namun karena saya merasa kondisi saya tidak membaik, saya memutuskan untuk mengambil tes swab PCR. Dan pada malam hari, saya memutuskan untuk tidur di kamar lain.

Jum’at 28 Mei 2021

Saya memulai hari dengan zoom class dimana saya tandem mengajar mendampingi siswa-siswa bea siswa asal Papua dengan sebuah Universitas di Amerika. Saya menyampaikan kepada sang Profesor, bahwa saya sedang tidak enak badan.

“Ow, I hope it’s not covid,” Prof Rhiannon terlihat khawatir. “Yes, I hope so.” saya menjawab dengan hati was-was.

Setelah kelas zoom selesai, saya memutuskan beristirahat. Tak lama, laboratorium mengirimkan hasil PCR swab saya dan alangkah kagetnya saya. Lembar softcopy itu bolak balik saya baca. Positif COVID-19, dengan ct = 15. Ct yang rendah menunjukkan bahwa virus tersebut masih aktif dan bisa menular. Dengan panik, saya kirimkan softcopy tersebut kepada orang tua saya. Confirmed, saya harus isolasi.

Masih dengan rasa panik pula, saya memerintahkan anak-anak saya untuk melakukan test PCR terutama si sulung karena dari hari selasa yang lalu pula, dia sudah mengeluhkan demam dengan gejala flu.

6 jam kemudian, hasil test mengkonfirmasi bahwa anak saya yang sulung menderita covid-19, sedangkan anak saya yang bungsu, yang masih sekamar dengan saya, syukurnya tidak mendapat hasil positif covid-19.

Kami berdua pun selanjutnya pergi ke RSPP untuk pemeriksaan apakah kami dapat melanjutkan isolasi mandiri di rumah atau harus ke RS. Perasaan campur aduk, membayangkan hal yang tidak nyaman di RS, seperti tidur di bangsal, sudah dibayangkan di kepala. Puji Tuhan, hasil pemeriksaan rontgen dan tes darah menunjukan kami aman untuk melakukan isolasi mandiri di rumah.

5 Hari pertama,

Saya istirahat, minum obat tetapi saya berusaha tidak terlalu banyak tiduran. Saya mendapat beberapa obat diantaranya: ivermectin, antivirus, antibiotik, paracetamol, flumucil, vit D dan multivitamin. Saya pun diberi tambahan obat kumur dan nasal spray. Saya pilih merk betadine.

Saya memutuskan untuk mencuci peralatan makan dan baju sendiri. Jadi tidak membebani orang di rumah.

Ketika saya sudah merasa baikan, saya berjemur di matahari dan melakukan olahraga ringan. Saya usahakan mendapat asupan gizi yang bervariasi. Karena saya introvert, saya tidak keberatan diisolasi. Malah ini menjadi momen istirahat dan kontemplasi.

14 Hari kemudian,

Hasil PCR swab saya sudah menunjukan negatif dengan angka CT = tidak terdeteksi. Saya sangat bersyukur akhirnya saya sembuh. Gejala yg saya rasakan adalah pegal-pegal, tenggorakan gatal, sedikit batuk, hidung tersumbat, ruam kulit, tanpa demam.

Gejala itu akhirnya semua hilang. 4 hari pertama adalah hari- hari yang terberat, karena beban psikologis yang saya rasakan. Saya dapat melihat sebagian orang malah menjadi marah-marah, saya dituduh sembrono. Lalu sebagian lagi menjadi takut untuk bertemu saya sekeluarga. Ya, Covid-19 datang dengan stigma, dan saya berusaha menerima hal tersebut. Saya menyesalkan tapi saya paham bahwa mereka panik dan takut.

Saya hanya berharap bahwa orang paham bahwa covid-19 itu hal yang berat bagi penderitanya, bagaimana kami juga berjuang mempertahankan spirit kami untuk sembuh. Jadi kami tidak perlu dimarahi atau diceramahi. Kami hanya perlu disupport dan dipahami. Untungnya masih ada teman-teman yg care dan keluarga yg supportive.

Saran saya setelah 14 hari isoman tetap lakukan test PCR swab untuk memastikan bahwa kondisi penderita sudah aman. Beberapa hari tambahan untuk isolasi juga bagus, tidak ada ruginya.

Perlu dipahami bahwa Covid-19 ini airborne…jadi dimana pun virus ini akan ada. Kalau tidak mau ambil resiko ya ‘stay at home’ dan tidak bertemu dengan siapa pun…Sudah kenyataan juga bahwa kita semua bakal kena, cuma nunggu giliran saja.

Saya beruntung hanya mendapat gejala ringan dan saya telah mendapat vaksin pertama.

Semoga catatan ini dapat bermanfaat bagi semua agar dapat menangani penyakit ini dengan bijaksana dan hati-hati. Selamat beraktifitas, jalankan prokes dan batasi mobilitas.

--

--

elvira natliya
0 Followers

Restless learner, a philomath, a project manager, a mom, a daughter and a sister. I would like to share my ephiphany.